Adapun yang dimaksud dengan sumber hukum adalah segala apa saja yang
menimbulkan aturan aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni
aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata[1].
P.J. Fitzgerald menyatakan bahwa sumber-sumber yang melahirkan hukum
bias digolongkan dalam dua kategori besar, yaitu sumber-sumber yang bersifat
hukum dan yang bersifat soaial. Yang pertama merupakan sumber yang diakui oleh
hukum sendiri sehingga secara langsung bias melahirkan utum menciptakan hukum.
Adapu yang kedua merupakan sumbar yang tidak mendapatkan pengakoan secara
formal oleh hukum, sehingga secara tidak langsung bisa diterima sebagai hukum[2].
Apabila memang demikian, maka yang kita jadikan tolok ukur adalah keabsahan secara
humum dari subtansi yang dikeluarkan oleh masing-masing sumber tersebut.
Subtansi yang dihasilkan oleh sumber hukum adalah ipso jure, yang dengan demikian hanya bias disebut sebagai
sumber-sumber kesejahteraan saja. Dengan demikian, maka sumber social ini dapat
disebut sebagai sumber bahan dan kekuatannya tidak otoritatif, melainkan hanya
persuasive.
Pendapat lain membagi sumber hukum ke dalam dua segi, yaitu material
dan formal. Sumber-sumber hukum
material, dapat ditinjau lagi dari pelbagai sudut, misalnya dari sudut ekonomi,
sejarah, sosiologi, filsafat dan sebagainya. Sebgai contoh, seorang ekonom akan
mengatakan, bahwa kebutuhan-kebutuhan ekonomi dalam masyarakat itu yang
menyebabkan timbulnya hukum. Demikian halnya dengan seorang sosiolog akan
mengatakan bahwa yang menjadi sumber hukum ialah peristiwa-peristiwa yang
terjadi dalam masyarakat.
Adapun sumber-sumber hukum formal, antara lain :
a. Undang-undang (Statute) adalah peraturan
Negara yang dibentuk oleh alat perlengkapan negra yang berwenang dan mengikat
masyrakat[3].
b. Kebiasaan (costum) adalah perbuatan manusia
dalam hal-hal tertentu yang dilakukan secra berulang-ulang, diterima oleh
masyarakat, dan selalu dilakukan oleh orang lain sedemikian rupa sehingga
masyarakat beranggapan bahwa memang harus berlaku demikian, karenajika tidak
akan merasa melakukan pelanggaran terhadap hukum[4]
c. Keputusan-keputusan hakim (jurisprudentie)
adalah keputusan pengadilan atau hakim terdahulu yang dijadikan pedoman dalam
memutuskn perkara berikutnya yang serupa.
d. Traktat (treaty) adalah perjanjian yang
dilakukan oleh dua Negara atau lebih
e. Pendapat serjana Hukum (doktrin) adalah
pendapat para serjana hukum terkemuka yang besar pengaruhnya terhadap hakim
dalam mengambil keputusan perkara.
Pada dasarnya ada empat sumber hukum islam, yaitu : (1) Al-Quran,
(2) Sunnah dan hadits, (3) Ijma’ dan (4) Ijtihad dan Qiyas.
1. Al-Quran
Sumber
hukum islam yang abadi dan asli adalah kitab suci Al-Quran. Kitab suci ini
merupakan amanat sesungguhnya yang disampaikan Allah melalui ucapan nabi
Muhammad SAW untuk membimbing umat manusia. Amanat ini bersifat universal,
abadi dan fundamental. Isi Al-Quran tidak hanya mengenai rincian bagaimana
pentingnya menyusun dan memelihara hubungan erat dengan tuhan, tetapi juga menjelaskan
semua yang mungkin diperlukan untuk memenuhi kehidupan social yang lengkap.
Termasuk siantaranya masalah ekonomi (bisnis) guna memenihi hajat hidup manusia[5]
2. Sunnah dan Hadits
Dalam
konteks hukum, sunnah yang secara harfiah berarti cara, adat istiadat, kebiasan
hidup. Mengacu pada perilaku nabi Muhammad SAW yang kompeten yang dijadikan
teladan (uswah). Sunnah, sebagain besar didasarkan pada praktek normative
masyarakat di zamannnya.
Namun
demikian perlu dipahami bahwa tidak sama pengertiaannya antara kedua istilah
yang menjadi hukum islam ini. Hadits biasanya merupakan sangat singkat yang
pada umumnya berisi informasi mengenai apa yang dikatakan, diperbuat, disetujui
atau tidak setujui oleh nabi Muhammad, atau informasi mengenai
sahabat-sahabatnya. Karena itu, hadits bersifat teoritik normatif, sedangkan
sunnah merupakan suatu fenomena yang dipraktekkan oleh Rasulullah SAW.
Rasulullah diutus untuk meneladani ajaran-ajaran Al-Quran, dan member contoh
kepada dunia suatu teladan kehidupan yang ideal menurut hukum Allah SWT.
Sebagai wujud dari sebuah teladan yang dipresentasikan oleh utusannya yang
agung, yakni nabi Muhammad SAW, sunnah tidak pernah bertentangan dengan
Al-Quran sebagai sumber hukum yang pertama dalam syariat islam. Demikianlah
pula tidaklah bertentangan dengan sunnah sebagai sumber hukum yang kedua. Dalam
hal ini sunnah merupakan tafsir langsung dari substansi Al-Quran, karena bisa
jadi apa yang ada dalam Al-Quran itu masih bersifat global.
Contohnya
Al-Quran sebagai sumber hukum dalam ekonomi (bisnis) anatar lain tentang
pengharaman riba dan larangan mencuri timbangan karena kedua praktek keji ini
jelas merugikan pihak lain[6].
Demikian pula dalam kaitan dengan masalah bagaimana praktek bisnis yang terpuji
yang diajarkan oleh Al-Quran, bisa disimak langsung dari bagaimana praktek
bisnis yang telah dilakukan oleh Rasulullah.
3. Ijma’
Ijma’
sebagai sumber ketiga hukum islam, merupakan consensus baik dari masyarakat
maupun para cendikiawan agama. Perbedaan konseptual antara sunnah dan ijma’
terletak pada kenyataan bahwa sunnah pada intinya terbatas pada ajaran-ajaran
nabi, selanjutnya diperluas kepada para sahabat, karena mereka inilah sebagai
sumber penyampaiannya. Sedangkan ijma’ adalah suatau prinsip hukum baru yang
timbul sebagai akibat perkembangan masyarakat yang semakin luas dan cepat.
Dengan demikian, ijma’ merupakn respon atas perkembangan masyarakat yang
membutuhkan jawaban secara hukum karena tidak ditemukan dasar hukum yang jelas
didalam kedua sumber hukum yang lain, yaitu Al-Quran dan Sunnah.
Tampaknya
ijma’ merupakan factor yang krusial dalam memecahkan persoalan kaum muslimin ke
depan yang semakin berkembang dan rumit. Ijma’ bisa menjadi solusi angar tidak
terjadi kesenjangan antara tuntutan masyarakat dengan ketersediaan hukum yang
ada. Hal ini bisa terjadi karena apa yang ada dalam al- quran dan sunnah
(hadits) masih bersifat global sehingga masih membutuhkan inter pretasi dan
kesepakatan (consensus) dari para ahli (ulama) yang berkompeten.
Dinatara
ijma’ ulama antara lain bisa dikemukakan tentang kebolehan jual beli dengan
cara morobahah . contoh lain riwayat
sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang mudharib) harta anaka yatim sebagai
mudharobah dan taka ada seorangpun mengingkari mereka. Karenanya hal itu
dipandang sebagai ijma’.
4. Ijtihad atau Qiyas
Di
abad-abad islam, ra’yi atau pendapat pribadi merupakan modal ijtihad. Namun
demikian setelah asas-asas hukum ditetapkan secara sistematis, kemudian
digantikan oleh Qiyas (analogi). Tidak diragukan lagi bahwa Al-Quran dan sunnah
telah memberikan ketentuan hukum baik yang berkaitan dengan individu maupun
social kepada umat manusia. Tetapi sejalan dengan dinamika kehidupan manusia
itu sendiri yang cenderung berubah dan berkembang dari waktu ke waktu, telah
menuntut perubahan hukum yang memadai. Disilah ijtihad itu diperlukan untuk
dilakukan oleh orang-orang yang berkompeten.
Contoh
qiyas, antara lain tentang diperkenankannya transaksi mudharobah, yakni
penyerahan sejumlah harta, dana atau modal dari satu pihak kepada pihak lain
untuk diperniagakan dan keuntungan dibagi diantara mereka sesuai kesepkatan.
Transaksi seperti ini diqiyaskan kepada transaksi musaqah (bagi hasil
perkebunan). Contoh lain, transaksi modharobah diqiyaskan kepada transaksi
musaqah yang oleh dewan syariah nasional majelis ulama Indonesia dijadikan
dasar diperbolehkannya menyimpan (menabung) uang diperbangkan syariah.
[3] Contoh Undang-Undang produk nasional dalam kaitan dengan bisnis banyak
sekali, antara lain Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002
tentang Hak Cipta, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2001 tentang
Hak Paten, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2001 tentag Merk.
[4] Contoh kebiasaan adalah kebiasaan yang telah lama hidup dalam sebuah
masyarakat tertentu. Misalnya dalam musaqoh yang sudah menjadi ‘urf, bagaimanapun pihak-pihak yang
terlibat dalam penjanjian musaqoh itu akan merasa terikat dengan kebiasaan yang
telah lama dipraktekkan oleh masyarakat setempat.
[5] M. Abdul Mannan, Teori dan Praktik Ekonomi Islam (Yogjakarta : PT Dana
Bakti Wakaf, 1995) hal. 28
[6] Dalam kaitan ini QS. Al-Baqoroh, 2:275 dan QS. Al-Muthaffifin, 83:1-3.
Belum ada komentar untuk " "
Berikan Tanggapan mengenai Artikel Di Atas :